Taman Wisata Alam Baning dan Famili Dipterocarpaceae nya

Taman Wisata Alam (TWA) Baning merupakan kawasan pelestarian alam dengan ekosistem rawa gambut yang khas yang terletak tepat ditengah kota Sintang. Statusnya sebagai kawasan konservasi
ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.405/Kpts-II/1990 tanggal 14 Juni 1999 dengan luas 213 ha. Dengan kemudahan aksesnya yaitu cukup dengan kendaraan pribadi (sepeda, sepeda motor, dan mobil) atau angkutan umum, tidak akan memakan waktu lama bagi kita untuk mencapainya.Terdapat dua pintu masuk ke TWA Baning yaitu melaui pintu gerbang yang terdapat di Jalan YC.Oevang Oeray Sintang dan di jalan Kelam (Simpang Korem).

Keberadaan TWA Baning sendiri sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat kota Sintang terutama masyarakat yang tinggal di sekitar TWA Baning. Mulai dari udara segar yang dapat dinikmati ditengah hiruk pikuk kota Sintang sehingga sering disebut sebagai paru-paru kota, jika beruntung setiap pagi kita bisa melihat sekelompok kelasi dipinggiran hutan, air dari dalam kawasan TWA yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, berbagai jenis burung yang bisa diamati setiap harinya, belum lagi pemandangan hijau yang menyejukkan mata dan hati, maka tak heran ada seorang wisatawan asing asal Belanda yang menyebut TWA Baning sebagai syurga.
 
TWA Baning yang lebih dikenal masyarakat kota Sintang dengan sebutan Hutan Wisata memiliki kekayaan terutama keanekaragaman flora yang luar biasa banyaknya. Betapa tidak, dengan luasan yang hanya 213 ha tercatat 137 jenis tumbuhan yang tergolong ke dalam 50 famili terdapat di dalamnya. Famili dengan jumlah jenis yang paling banyak yaitu Dipterocarpaceae dan Euphorbiaceae. Untuk famili Dipterocarpaceae tercatat sembilan jenisnya terdapat di kawasan konservasi ini.

Seperti yang kita ketahui, Dipterocarpaceae merupakan salah satu famili terpenting diantara flora pohon di Indonesia, khususnya hutan-hutan alam di luar pulau Jawa. Famili Dipterocarpaceae yang disebut sebagai tumbuhan tertinggi pembentuk kanopi hutan tersebar cukup luas mulai dari Afrika, Seychelles,Ceylon hingga Semenanjung India, selanjutnya di India Timur, Banglkadesh, Burma, Thailand, Indocina, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimanatan, dan Philipina. Jumlah jenis famili Dipterocarpaceae yang tercatat hingga tahun 1991 sebanyak 512 jenis dari 16 genus. Genus Famili Dipterocarpaceae yang terdapat di Indonesia adalah Anisoptera, Cotylelobium, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Parashorea, Shorea, Vatica, dan Upuna. Dari sembilan genus tersebut empat genus terdapat di TWA Baning yaitu:  Cotylelobium, Dryobalanops, Shorea, dan Vatica.

Jenis-jenis dari Famili Dipterocarpaceae yang terdapat di TWA baning yaitu:
2.       Cotylelobium melanoxylon (Hook.f.) Pierre (Resak Tembaga, Giam Tembaga)
3.       Dryobalanops rappa Becc. (Kapur, Kelansau, Kapur Kayat)
4.       Shorea balangeran (Korth.) Burck (Meranti Merah,Belangiran, Balangeran, Kawi)
5.       Shorea pachyphylla Ridl. ex Symington (Mabang, Meranti Mesupang, Tengkawang Hutan Padang)
6.       Shorea seminis (de Vriese) Sloot. (Trindak, Tengkawang Trindak)
7.       Shorea teysmanniana Dyer ex Brandis (Meranti Putih, Meranti Daun Halus)
8.       Shorea uliginosa Foxw. (Meranti daun lebar, Pengarawan Buaya)
9.       Vatica umbonata (Hook.f.) Burck (Resak)
Dari sembilan jenis yang disebutkan diatas, empat jenis masuk dalam kategori Ktitis/ Sangat Terancam Punah (Critically Endangered) berdasarkan Daftar Merah (Red List) dari IUCN (International Union for The Conservation of Natural Resources). Mereka adalah: Shorea balangeran (Korth.) Burck, Shorea pachyphylla Ridl. ex Symington, Shorea seminis (de Vriese) Sloot., dan Shorea teysmanniana Dyer ex Brandis. 

Ancaman bagi keberlangsungan keberadaan jenis Dipterocarpaceae dan jenis lainnya di TWA Baning datang dari banyak hal seperti Kebakaran Hutan, Perambahan Pemukiman, dan Penurunan Kualitas Ekosistem.  Kebakaran hutan merupakan ancaman yang paling berbahaya untuk semua kawasan hutan, ancaman ini akan lebih berbahaya ketika kawasan yang terbakar adalah ekosistem gambut yang karena sifat fisiknya akan membawa akibat yang jauh berbahaya dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Posisi strategis keberadaan TWA Baning yang berada di tengah kota Sintang mengundang ancaman tersendiri atas keberadaannya yaitu perambahan pemukiman. Penurunan Kualitas Ekosistem pada TWA Baning salah satunya terjadi akibat keluarnya air dari dalam kawasan hutan akibat pembuatan parit di sekeliling kawasan dimana air kemudian keluar melalui dua pintu air yang bermuara ke Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Hal ini lalu diindikasikan sebagai penyebab penurunan tinggi serasah sehingga banyak akar-akar pohon yang menggantung tinggi dari permukaan yang menjadikan pohon-pohon tersebut mudah tumbang, mengingat  sifat dari gambut yang tidak seperti spoons dimana spoons bisa kembali mengembang setelah terisi air lagi, tapi tidak dengan gambut. 

Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 dengan lugas dikatakan bahwa “Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang”. Oleh karenanya sudah selayaknya kelestarian hutan dan semua jenis flora maupun fauna yang terdapat didalamnya menjadi tanggung jawab kita bersama, baik tua muda, kaya miskin sebagai manusia kepada Tuhan untuk mewarisakan alam yang indah kepada anak cucu kita. 

(Usulan tulisan di Buletin Entuyut BKSDA Kalbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Papercraft

Komik Konservasi (SKW 2 SINTANG)

Pengajian Ramadhan KH Encep Muhaimin Abdul Basith - Keistimewaan Puasa